Liverpool FC Abdullah Yasir: Kejahatan Korporasi

Tuesday, November 5, 2013

Kejahatan Korporasi



Pengertian Kejahatan Korporasi

1.Black’s Law Dictionary
corporate crime is any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste dumping), often referred to as “white collar crime.
{Kejahatan korporasi adalah segala tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan kepada sebuah korporasi karena kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pegawai dan karyawannya (Penetapan harga, pembuangan limbah), seringkali dikenal sebagai kejahatan kerah putih.}

2.Sally A. Simpson (mengutip John Braithwaite)
Conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law.
(Perilaku sebuah korporasi atau para pegawainya atas nama korporasi, dimana perilaku tersebut dilarang dan patut dihukum oleh hukum.)
Menurut Sally A. Simpson, terdapat 3 poin penting pada pendapat John Braithwaite, yaitu :

a. Tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Oleh karena itu, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi.

b. Baik korporasi (sebagai “subyek hukum perorangan” ) dan perwakilannya ( illegal actor ) termasuk sebagai pelaku kejahatan, dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan, dan kualitas pembuktian dan penuntutan.

c. Motivasi kejahatan yang dilakukan oleh korporasi bukan bertujuan untuk kepentingan pribadi (individu), melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasi. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.

3. B. Clinard & Peter C Yeager
Setiap tindakan korporasi yang bias, dimana diberi hukuman oleh negara, entah di bawah hukum administrasi negara, hukum perdata, atau hukum pidana. Kejahatan Korporasi merupakan bagian dari kejahatan kerah putih, namun lebih spesifik. Merupakan kejahatan teroganisasi dalam hubungan yang kompleks dan mendalam antara seorang pimpinan eksekutif dan manager dalam suatu tangan. Dapat juga berbentuk sebagai perusahaan keluarga, namun tetap dalam kejahatan kerah putih

Bentuk Kejahatan Korporasi

Mabel A. Elliot dalam bukunya Crime in Modern Society (1952), melihat kejahatan dari beberapa sudut:

1. Crime as a Social Problem. Dilihat dari sudut sosiologi, maka kejahatan adalah salah satu masalah yang paling gawat dari disorganisasi sosial karena penjahat bergerak dalam aktivitas-aktivitas yang membahayakan bagi dasar-dasar pemerintahan, hukum, undang-undang, ketertiban dan kesejahteraan social

2. Crime as a Psycological Problem. Psikolog selalu mengingatkan bahwa “kejahatan itu dibuat oleh penjahat”. Kejahatan itu dibuat oleh penjahat dan penjahat itu adalah manusia, yang atas dasar apapun juga, mempunyai motif untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Oleh karena itu dilihat dari sudut psikologis kejahatan kecuali memang adalah perbuatan yang dilakukan oleh seorang penjahat, adalah perbuatan dari orang-orang yang sama dengan kita (The experience of crime behaviours is not different from the experience of human behaviour).

3. Crime as a Psychosocial Problem. Kelakuan dari seorang penjahat, bilamana dilihat dari sudut masyarakat adalah suatu kelakuan yang menyeleweng (deviant behaviour).

4.  Crime as a Legal-social Problem. Definisi kejahatan, setiap perbuatan, atau kegagalan untuk melakukan suatu perbuatan, yang dilarang atau diharuskan oleh Undang-Undang, yang untuk tindakannya tersebut dapat dijatuhkan pidana dalam bentuk denda atau punishment, hilang kemerdekaan, dibuang ke luar daerah, pidana mati dan lain-lain

Pertumbuhan korporasi diantaranya terus meningkat sangat pesat dari jumlah dan ukurannya seiring dengan peranannya. Tentunya ini menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi, social, dan politik sebagaian besar dipengaruhi oleh peilaku korupsi.

Contoh Kasus :

KASUS WISMA ATLIT DALAM KAJIAN KONSEP KEJAHATAN KORPORASI

Korupsi Wisma Atlit Dalam Pandangan Konsep Kejahatan Korporasi
Korupsi Wisma Atilt merupakan kejahatan white-colar crime dimana pelaku – pelakunya merupakan orang cerdik pandai dan bukan orang miskin. Istilah white-colar crime pertama kali dikemukakan oleh Sutherland, yang merujuk pada pelaku kelahatan dengan tipe pelaku berasal dari orang – orang sosial ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran – pelanggaran terhadap hukum. Pengertian kreteria pelaku kejahatan, dalam kasus korupsi Wisma Atilt nampaknya sama dengan pengertian pelaku kejahatan white-colar crime dari Sutherland yaitu dilakukan oleh kelompok eksekutif.
Konsep kejahatan korporasi atau white-colar crime berbeda dengan kejahatan konvensional. Dalam konsep kejahatan konvensional yang dikatakan sebagai penjahat adalah orang yang melakukan kejahatan secara langsung, sedangkan pelaku kejahatan dalam kejahatan korporasi adalah korporasi yang melakukan pelanggaran. Walaupun sebetulnya pelakunya juga orang – orang dalam korporasi. Oleh karena itu, tidak gampang menentukan pelaku dalam kasus tersebut, mengingat korupsi tersebut dilakukan oleh banyak pihak, terstruktur dan melibatkan birokrasi. Selain itu hukum pidana kita juga terbiasa hanya menjerat pelaku langsung dimana biasanya orang-orang di belakang yang mengatur terjadinya kejahatan sulit tersentuh oleh hukum.
Korporasi yang melakukan kejahatan korupsi melakukan praktek-praktek illegal sebagai sarana untuk melakukan korupsi, misalnya dengan melakukan penyuapan kepada pajabat negara atau pemegang kebijakan lelang, Mark up nilai proyek, pengurangan kwalitas produk dan sebagainya. Kejahatan – kejahatan tersebut sulit diketahui oleh masyarakat karena memang kejahatan yang terselubung (invincible crime) dan dibungkus dengan aturan – aturan yang bisa dicari alasan pembenarnya. Kejahatan tersebut baru bisa dikekahui bila ada orang dalam atau seseorang yang membocorkannya kepada public. Kemudian penegak hukum melakukan penyelidikan dengan melibatkan auditor keuangan, sehingga kejahtan tersebut menjadi terang.
Menurut Koesparmono, suatu kejahatan diangap sebagai kejahatan korporasi jika mengandung unsur – unsur sebagi berikut: (1), Tindak pidana dilakukan oleh orang –orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain dalam lingkup usaha korposari tersebut baik sendiri – sendiri atau bersama – sama. (2), Perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan. (3), Pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. Pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.
Lebih lanjut Koesparmono juga mengatakan bahwa, berdasarkan rumusan unsur pertama, yang disebut kejahatan korporasi tidak terbatas pada kejahatan yang dilakukan oleh pengurus korporasi tetapi juga yang dilakukan oleh orang – orang yang bertindak untuk kepentingan korporasi, misalnya staf atau tenaga kontrak yang memiliki hubungan kerja dalam korporasi. Oleh karena itu jika kita memfonis bahwa kejahatan korupsi Wisma Atlit sebgai kejahatan korporasi, maka unsur – unsur kejahatan atau pidana kejahatan tersebut harus masuk dalam kreteria unsur – unsur kejahatan korporasi. Kemudian berkaitan dengan unsur ketiga, maka selain pertanggung jawaban perorangan, tanggung jawab hukum kejahatan korupsi Wisma Atlit juga bisa dibebankan kepada korporasi yang terlibat. Namun poin ini belum dilakukan oleh penyidik KPK atau penegak hukum lainnya.
Berdasarkan sumber yang telah diperoleh, kasus korupsi Wiama Atlit dilakukan secara terstruktur dalam wadah perusahaan dan melibatkan penyelenggara negara. Kasus penyuapan yang terjadi merupakan upaya memuluskan agar tender jatuh kepada perusaan tertentu. Penulis meyakini semua rumusan unsur dalam definisi kejahatan korporasi singkron dengan kejahatan korupsi Wisma Atlit dengan pertimbangan sebagai berikut: Pertama Tindak pidana dilakukan oleh orang –orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain dalam lingkup usaha korposari tersebut baik sendiri – sendiri atau bersama – sama. Pemikirannya adalah, bahwa proyek tersebut merupakan proyek besar yang memakan biaya senilai Rp 191.672.000.000 yang tidak mungkin struktur tertinggi dalam korporasi tidak mengetahui jika PT DGI bagi-bagi Suap Wisma Atlet. Bukti tersebut sebetulnya sudah cukup kuat untuk membuat dugaan bahwa, apa yang dilakukan PT DGI dikategorikan sebagai kejahatan korporasi karena bagi-bagi uang suap kepada beberapa pihak diketahui oleh petinggi-petinggi PT tersebut, seperti Direktur Utama Dudung Purwadi. Bukan hanya itu, fakta lain yang mendukung tuduhan itu adalah cek yang diberikan PT DGI ke pada pihak – pihak terkait pemenangan tender termasuk yang diberikan kepada Wafid Muharram ditandatangani bagian keuangan PT DGI.
Kemudian untuk unsur Kedua yaitu: bahwa perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan. Dimana Analoginya adalah proyek tersebut adalah proyek negara, yang tidak mungkin diberikan kepada perusaan yang tidak legal. Perusahaan yang di menangkan dalam tender oleh Kementrian Pemuda dan olahraga pasti mempunyai spesifikasi sesuai dengan kebutuhan proyek, termasuk yang menyangkut masalah kelengkapan administrasi perusahaan.
Olehkarena itu, rumusan unsur Ketiga yaitu pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan atau pengurusnya dapat diterapkan dalam kasus ini. Mengacu pada asumsi demikian, penulis memiliki pemikiran bahwa seluruh pihak terkait kasus tersebut, dapat dikenakan pidana berdasarkan rumusan delik pada KUHP atau dengan Undang-Undang KPK sesuai dengan perannya masing masing. Kemudian untuk korporasi yang terlibat dapat dijatuhi sanksi sesuai aturan dalam kejahatan korporasi misalnya digugat perdata ataupun penutupan opersional perusahaan. Sehingga, seharusnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak memeriksa para saksi dan tersangka kasus suap wisma atlet dalam kapasitas sebagai individu, tetapi sebagai pengurus korporasi agar korporasi juga bisa dijatuhi sanksi karena bentuk penjatuhan sanksi kepada korporasi merupakan bagian kontrol pemerintah kepada korporasi.
Dalam konteks negara, seharusnya keseriusan negara dalam memberantas korupsi juga harus dipertanyakan, dimana kejahatan tersebut banyak melibatkan penyelenggara negara serta kebijakan – kebijakan atau regulasi yang dikeluarkan oleh negara kerap membuat celah terjadinya korupsi. Hal ini mengisyaratkan bahwa negeri ini belum mampu membuat regulasi dan sistem yang kebal terhadap korupsi. Romany mengatakan, seharusnya negara dengan kekuasaan politiknya, bisa menjamin terselenggaranya kebijakan dan kinerja yang efektif bersih, bukan sebaliknya, melalui pejabat publiknya dan jajarannya bertindak melawan hukum dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Kendati demikian, negara bukan termasuk korporasi yang tidak bisa dimintai pertanggung jawaban layaknya korporasi, namun pejabat – pejabatnya yang terkait kejahatan bisa dipidana.



No comments:

Post a Comment